Dijelaskan, dari hasil pendataan pada 2015, tingkat konsumsi beras per tahun sebanyak 95,9 kg/kapita. Jumlah itu menurun dari beberapa tahun sebelumnya yang masih di atas 100 kg/kapita. Sementara posisi konsumsi jagung terbilang masih rendah, hanya 16,51 kg/kapita, dan ubi kayu 56,30 kg/kapita. “Ketergantungan masyarakat pada beras juga dipengaruhi kebiasaan. Misal orang tua tak mengenalkan bahan pangan nonberas kepada anak-anak.” Adapun produksi bahan pangan, hingga September produksi beras surplus 68.170 ton dari total produksi 247.944 ton. Jagung surplus 117.956 ton dari total produksi 162.361 ton.
Ubi kayu juga surplus 19.011 ton dari total produksi 70.239 ton. Sementara komoditas pangan yang masih minus yakni ubi jalar dengan kebutuhan 4.626 ton, namun produksi hanya 100 ton. Kemudian kacang tanah dengan kebutuhan sebanyak 2.428 ton, produksi hanya 2.165 ton. Demikian pula kedelai kebutuhan mencapai 7.661 ton namun produksi hanya 4.206 ton.
Pakan Ternak
Melihat hasil produksi bahan pangan itu, imbuh dia, komoditas jagung dan ubi kayu sangat mungkin untuk dijadikan bahan pangan alternatif pengganti beras. Namun sampai saat ini, tingkat konsumsi jagung dan ubi kayu memang masih rendah. Sebanyak 75 persen hasil produksi kedua komoditas tersebut digunakan untuk pakan ternak.
Sementara yang terserap untuk konsumsi rumah tangga hanya 25 persen. Konsumsi jagung dan ubi kayu biasanya di wilayah pedesaan. “Di beberapa desa masih ada yang mengomsumsi nasi jagung sebagai bahan makanan pokok.” Ditambahkan, persoalan dalam upaya diversifikasi pangan adalah tak ada pengolahan pangan yang baik. Selain sebagai makanan ternak, jagung dan ubi kayu bisa menjadi produk bernilai tinggi bila tahu cara mengolah. “Jagung untuk konsumsi ternak juga masih bisa diolah, misal dijadikan tepung. Seperti dalam rangkaian Hari Pangan Sedunia (HPS) lalu, dikenalkan 301 makanan olahan berbahan dasar jagung.”
Sumber: berita[dot]suaramerdeka[dot]com
0 komentar: