Foto: Singkong di lahan bekas tambang batubara, potensi yang terabaikan
RMOL. Ambisi pemerintahan Jokowi-JK mensukseskan program swasembada pangan diperkirakan bakal sulit terwujud. Pasalnya, pembangunan di sektor pertanian era Jokowi tidak jauh berbeda dengan era pemerintahan sebelumnya. Kondisi ini diperparah dengan rencana pemerintah untuk mengimpor beras.
Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah menyebutkan, rencana impor beras bukanlah sesuatu yang mengejutkan. "Jauh sebelum pemerintah memutuskan impor. Bahkan, sebelum harga beras bergejolak hebat pada periode Pebruari-Maret, KRKP telah mengingatkan sekaligus memprediksikan bahwa impor beras akan terjadi," katanya dalam siaran pers yang diterima Rakyat Merdeka, kemarin.
Indikasinya antara lain, pada akhir tahun 2014 terjadi serangan hama wereng dan blast marak di sentra produksi padi dan ancaman kekeringan pada awal tahun 2015 yang menurunkan produksi.
Dia menyebutkan, ketika Menteri Pertanian mengumumkan bisa swasembadapangan dalam tiga tahun, itu merupakan target yang cukup berani. "Sah-sah saja pemerintah menjanjikan itu, namun mencapai swasembada padi, jagung, dan kedelai dalam tiga tahun dinilai sangat ambisius," ujarnya.
Ambisius, lanjutnya, karena kondisi ekosistem pertanian sudah sedemikian rusak, ancaman hama penyakit tinggi dan kondisi iklim yang makin tak bisa diprediksi. "Selain itu, strategi yang dipakai tak berubah dari era SBY. Kecuali keterlibatan TNI secara langsung dan rehabilitasi irigasi," imbuhnya.
Pemerintah, terangnya, masih saja menggunakan strategi benih hibrida, subsidi pupuk kimia sintetis besar-besar dan pestisida serta pembagian traktor. "Pemerintah Jokowi sepertinya tidak belajar dari pengalaman 10 tahun era SBY," keluhnya.
Dia mengemukakan, Indonesia mengimpor beras dalam volume besar pada tahun 2005 sebesar 1,1 juta ton, 2011 sebesar 2,7 juta ton dan 1,8 pada tahun 2012. "Pada tahun-tahun ini produksi terjun bebas karena adanya serangan hama penyakit dan sebagian kecil karena bencana banjir atau kekeringan," tuturnya.
Said menekankan, strategi yang diambil pemerintah juga dinilai tidak efisien. "Anggaran subsidi pupuk dan benih terus meningkat. Pada saat yang sama kebocoran dan salah sasaran juga terjadi," katanya.
Di era SBY, dalam 10 tahun anggaran pertanian naik hingga 611 persen. Padahal, produksi hanya naik sebesar 17,4 persen.Lalu pada saat yang samaimpor beras naik hingga 117 persen pada periode 2005-2009 dan 482,6 persen periode 2010-2013.
"Pemerintah harus segera merubah strategi dan pendekatannya. Food and Agriculture Organization (FAO) juga sudah mengingatkan semua pihak bahwa pertanian konvensional sarat input kimia sintetis tak akan lagi mampu menjawab kebutuhan pangan dan peningkatan produksi," paparnya.
KRKP mengusulkan pertanian ekologis skala rumah tangga (family farming) merupakan jawaban atas problem pangan kini dan di masa yang akan datang. "Indonesia tak lagi bisa bertumpu pada pertanian konvensional jika ingin swasembada apalagi berdaulat pangan," ucap Said.
Jika pemerintah memaksakan model pembangunan seperti saat ini, maka rakyat tahu bahwa kedaulatan pangan yang dijanjikan dalam Nawacita tak lebih hanya lipstik belaka. "Pemerintah tak sungguh-sungguh memegang janjinya. Jangan lupa, kedaulatan pangan itu menempatkan petani sebagai subyek pembangunan pertanian".
Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah menyebutkan, rencana impor beras bukanlah sesuatu yang mengejutkan. "Jauh sebelum pemerintah memutuskan impor. Bahkan, sebelum harga beras bergejolak hebat pada periode Pebruari-Maret, KRKP telah mengingatkan sekaligus memprediksikan bahwa impor beras akan terjadi," katanya dalam siaran pers yang diterima Rakyat Merdeka, kemarin.
Indikasinya antara lain, pada akhir tahun 2014 terjadi serangan hama wereng dan blast marak di sentra produksi padi dan ancaman kekeringan pada awal tahun 2015 yang menurunkan produksi.
Dia menyebutkan, ketika Menteri Pertanian mengumumkan bisa swasembadapangan dalam tiga tahun, itu merupakan target yang cukup berani. "Sah-sah saja pemerintah menjanjikan itu, namun mencapai swasembada padi, jagung, dan kedelai dalam tiga tahun dinilai sangat ambisius," ujarnya.
Ambisius, lanjutnya, karena kondisi ekosistem pertanian sudah sedemikian rusak, ancaman hama penyakit tinggi dan kondisi iklim yang makin tak bisa diprediksi. "Selain itu, strategi yang dipakai tak berubah dari era SBY. Kecuali keterlibatan TNI secara langsung dan rehabilitasi irigasi," imbuhnya.
Pemerintah, terangnya, masih saja menggunakan strategi benih hibrida, subsidi pupuk kimia sintetis besar-besar dan pestisida serta pembagian traktor. "Pemerintah Jokowi sepertinya tidak belajar dari pengalaman 10 tahun era SBY," keluhnya.
Dia mengemukakan, Indonesia mengimpor beras dalam volume besar pada tahun 2005 sebesar 1,1 juta ton, 2011 sebesar 2,7 juta ton dan 1,8 pada tahun 2012. "Pada tahun-tahun ini produksi terjun bebas karena adanya serangan hama penyakit dan sebagian kecil karena bencana banjir atau kekeringan," tuturnya.
Said menekankan, strategi yang diambil pemerintah juga dinilai tidak efisien. "Anggaran subsidi pupuk dan benih terus meningkat. Pada saat yang sama kebocoran dan salah sasaran juga terjadi," katanya.
Di era SBY, dalam 10 tahun anggaran pertanian naik hingga 611 persen. Padahal, produksi hanya naik sebesar 17,4 persen.Lalu pada saat yang samaimpor beras naik hingga 117 persen pada periode 2005-2009 dan 482,6 persen periode 2010-2013.
"Pemerintah harus segera merubah strategi dan pendekatannya. Food and Agriculture Organization (FAO) juga sudah mengingatkan semua pihak bahwa pertanian konvensional sarat input kimia sintetis tak akan lagi mampu menjawab kebutuhan pangan dan peningkatan produksi," paparnya.
KRKP mengusulkan pertanian ekologis skala rumah tangga (family farming) merupakan jawaban atas problem pangan kini dan di masa yang akan datang. "Indonesia tak lagi bisa bertumpu pada pertanian konvensional jika ingin swasembada apalagi berdaulat pangan," ucap Said.
Jika pemerintah memaksakan model pembangunan seperti saat ini, maka rakyat tahu bahwa kedaulatan pangan yang dijanjikan dalam Nawacita tak lebih hanya lipstik belaka. "Pemerintah tak sungguh-sungguh memegang janjinya. Jangan lupa, kedaulatan pangan itu menempatkan petani sebagai subyek pembangunan pertanian".
0 komentar: