Konten Terbaru:
Home » » Jebakan Target Swasembada Pangan

Jebakan Target Swasembada Pangan

Written By Unknown on Senin, 16 Februari 2015 | 16.2.15

Foto: Lahan sawah padi yang semakin sempit karena beralih menjadi perumahan di Kabupaten Jember

 

 

Oleh: Bustanul Arifin

 

Pemerintahan Kabinet Kerja pimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla telah secara bulat bertekad untuk mencapai swasembada untuk padi, jagung, dan kedelai pada 2017. Kemudian secara implisit, pemerintah juga bertekad untuk mencapai swasembada gula dan daging pada tahun keempat dan kelima atau pada 2018 dan 2019.

 

Dua pertanyaan strategis kemudian muncul. Pertama, apakah swasembada padi, jagung, dan kedelai akan tercapai dalam tiga tahun? Kedua, strategi apa sajakah yang akan diterapkan pemerintah untuk mencapai swasembada pangan tersebut?

 

Artikel ini berusaha membahas target-target swasembada pangan Kabinet Kerja, sekaligus memberikan analisis terhadap pertanyaan di atas.

 

Penutup artikel ini adalah opsi solusi yang perlu diambil pemerintah, tidak hanya untuk mengejar swasembada pangan, tapi untuk mencapai tingkat ketahanan pangan yang lebih bermartabat.

 

Bukan ’Jebakan Politik’

Dokumen resmi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 telah mencanangkan peningkatan kedaulatan pangan, untuk mewujudkan kemandirian ekonomi nasional.

 

Pertama, target ketiga komoditas pangan mungkin ada yang tercapai, tapi ada yang sulit untuk tercapai. Target pertumbuhan yang tertulis di RPJMN untuk padi 3,03% dan jagung 4,73% per tahun mungkin cukup realistis, sehingga swasembada padi dan jagung mungkin saja akan tercapai dalam tiga tahun. Akan tetapi target pertumbuhan produksi kedelai sebesar 22,7% per tahun amat sulit untuk tercapai, sehingga target swasembada kedelai hampir tidak mungkin tercapai pada tahun 2018, bahkan tahun 2019.

 

Analisis ini menggunakan data resmi produksi pangan yang dipublikasi Badan Pusat Statistik (BPS) dan untuk sementara mengesampingkan kualitas dan konsistensi data tesebut. Pembahasan tentang kualitas dan metodologi estimasi data produksi pangan memerlukan ruang diskusi dan landasan teori statistika dan teori ekonomi pertanian tingkat lanjut (advanced).

 

Siapa pun yang menetapkan target-target pertumbuhan produksi pangan, data historis tetap perlu dijadikan referensi, di samping strategi atau langkah yang akan dilakukan pemerintah saat ini pada kurun waktu lima tahun ke depan. Produksi padi pada 2004 tercatat 54,1 juta ton gabah kering giling (GKG). Produksi padi pada 2014 telah mencapai 70,6 juta ton GKG atau terjadi peningkatan 2,70% per per tahun selama 10 tahun Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

 

Produksi jagung pada 2004 tercapai 11,2 juta ton jagung pipilan kering dan meningkat menjadi 19,1 juta ton jagung kering pada 2014. Kinerja pertumbuhan produksi jagung 5,45% per tahun selama 10 tahun terakhir bahkan masih lebih tinggi dari target pertumbuhan produksi jagung sebesar 4,70% per tahun pada lima tahun ke depan. Maksudnya, target pertumbuhan produksi padi 3,03% dan jagung 4,70% per tahun pada Kabinet Kerja mungkin tercapai jika pemerintah mampu bekerja sama lebih erat lagi dengan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

 

Akan tetapi, target pertumbuhan produksi kedelai sebesar 22,7% per tahun selama lima tahun mendatang terlalu sulit untuk dicapai. Produksi kedelai pada 2004 hanya tercatat 723 ribu ton kedelai kering, kemudian meningkat menjadi 923 ribu ton pada 2014, atau terjadi peningkatan 2,47% per tahun selama pemerintahan SBY.

 

Agak sulit diterima akal sehat jika pemerintahan Jokowi menetapkan target hampir 10 kali lipat dari kinerja pertumbuhan selama 10 tahun terakhir. Siapa pun yang diberi amanah sebagai Menteri Pertanian pasti akan mengalami kesulitan untuk mewujudkan target swasembada kedelai, apalagi pada kondisi pemerintahan Kabinet Kerja yang sedang mengalami uji kompetensi dan integritas yang berat.

 

Masyarakat tentu berharap bahwa target swasembada pangan itu bukan ”jebakan politik”, yang tidak membawa kemaslahatan apa-apa, kecuali kegaduhan dan suasana panas yang tidak produktif.

 

 

Harus Lebih Maju

Kedua, strategi yang akan diterapkan pemerintah untuk mencapai swasembada pangan dalam tiga tahun ke depan cukup banyak. Strategi tersebut terkesan kurang fokus, dan tercampur aduk antara substansi teoretis, strategi, kebijakan dan program.

 

Mungkin saja Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memang har us mengakomodasi urusan administrasi dan birokrasi dari kementerian teknis dan/atau organisasi di dalam Bappenas sendiri.

Sekian macam strategi yang telah tertuang dalam RPJMN 2015-2019 dapat diikhtisarkan sebagai berikut: (1) peningkatan kapasitas produksi, (2) peningkatan produktivitas pertanian, (3) peningkatan akses petani terhadap sumber-sumber pembiayaan, (4) pengembangan produksi pangan secara korporasi (oleh perusahaan swasta dan badan usaha milik negara-BUMN), dan (5) perlindungan petani dari kegagalan produksi.

 

Dengan kata lain, strategi implementasi rencana kerja tahunan yang harus dilaksanakan oleh kementerian teknis, ketersediaan anggaran, personel aparat dan mitra pemerintah serta aspek delivery system lainnya berperan amat penting pada pencapaian target-target swasembada pangan. Misalnya, selama tiga bulan pertama ini, pimpinan borokrasi pemerintah (presiden dan menteri pertanian) cukup rajin melakukan blusukan dan berdialog langsung dengan petani.

 

Ekspektasinya adalah bahwa dengan mengetahui langsung keluhan petani, respons kebijakan dapat segera dieksekusi. Apakah hal tersebut efektif dalam mencapai target-target swasembada yang telah ditentukan, waktu jualan yang akan menentukan. Perencanaan dan strategi yang 100% sempurna tidak akan bermakna apa-apa jika tidak mampu dilaksanakan secara sempurna di lapangan. Tapi, pelaksanaan strategi yang 100% sempurna hanya akan menyelesaikan pekerjaan, tanpa menghasilkan dampak yang lebih bermakna bagi masyarakat luas.

 

Intinya adalah bahwa kebijakan di tingkat strategis/politis perlu memiliki rasional yang baik dan landasan teoretis yang dapat dipertanggungjawabkan. Kebijakan di tingkat organisasi dan operasional juga perlu memiliki prasyarat delivery system yang mumpuni dan kemampuan adaptasi atau fleksibilitas terhadap perubahan lingkungan.

 

Pemerintah pusat perlu mampu mengombinasikan strategi pencapaian swasembada dengan langkah operasional di tingkat lapangan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah provinsi sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah perlu menjadi koordinator dan jembatan penghubung antara kebijakan di tingkat strategis dan implementasinya di lapangan. Pemerintah provinsi perlu bekerja sama lebih erat dengan universitas atau perguruan tinggi lain di daerahnya yang memiliki kompetensi dan pengalaman melakukan penyuluhan, pendampingan dan pemberdayaan petani.

 

Sebagai penutup, swasembada pangan perlu dilihat sebagai kondisi mendasar yang harus dicapai dalam upaya peningkatan kesejahteraan, bukan semata target politis dan birokrasi pemerintah. Presiden Soeharto semasa Orde Baru telah mencapainya. Presiden Jokowi perlu berpikir lebih maju dari pendahulunya, seperti peningkatan ketahanan pangan dan kecukupan gizi bagi seluruh rakyat.

 

Visi besar kemandirian dan kedaulatan pangan tidak hanya bermakna swasemabda pangan, tapi kemampuan dan hak negara dan bangsa dalam memproduksi pangan beraneka ragam yang mampu meningkatkan kesejahteraan individu rakyat Indonesia.

 

Sumber: http://id.beritasatu.com/agribusiness/jebakan-target-swasembada-pangan/108294

 

*) Bustanul Arifin

Guru Besar Universitas Lampung (Unila), Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef), dan Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi)

Share this article :

0 komentar:


Tepung Mocaf

Tepung singkong yang dimodifikasi sehingga berkualitas tinggi...

Untuk Pembelian Tepung Mocaf Hubungi
YULIANA
0271-825266

 
Dipersembahkan oleh Lembaga Penelitian Universitas Jember
Didukung oleh : Universitas Jember | LPDP | BCM
Copyright © 2015. Tepung MOCAF - All Rights Reserved