Konten Terbaru:
Home » » Jika Tidak Mandiri, RI Akan Kelaparan di Saat Dunia Krisis Pangan

Jika Tidak Mandiri, RI Akan Kelaparan di Saat Dunia Krisis Pangan

Written By Unknown on Selasa, 25 Oktober 2016 | 25.10.16

Ilustrasi REUTERS/Bobby Yip

Koran Jakarta- Indonesia akan menghadapi kelaparan masif apabila pembangunan kemandirian pangan tidak segera terwujud. Kondisinya akan kian parah karena sumber pangan dunia berkurang akibat disalurkan untuk kebutuhan negara- negara yang dilanda kekeringan berkepanjangan.

Direktur Mubyarto Institute, Awan Santosa, mengatakan ancaman terjadinya kelaparan bisa saja terjadi selama pembangunan pertanian Indonesia tidak terencana dan selalu bergantung pada kepentingan impor. “Selama pembangunan pertanian diabaikan maka potensi Indonesia mengalami krisis pangan akan tetap terjadi,” katanya saat dihubungi, Jumat (21/10).

Sebelumnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan bahwa musim kering berkepanjangan yang terjadi di Afrika, lebih khusus lagi Madagaskar, akan memicu krisis pangan dunia. Sebab, hasil pangan dunia akan tersalurkan ke negara-negara Afrika yang sangat membutuhkan pangan. Jika tidak, maka penduduk Afrika akan dilanda kelaparan yang sangat mengkhawatirkan.

Direktur Regional Badan Pangan Dunia, Chris Nikoi, mengungkapkan hampir 850 ribu penduduk Madagaskar terancam kelaparan akibat kekeringan yang melanda di negara itu. “Apabila tidak segera diberi bantuan mereka akan menghadapi situasi yang mengerikan, yakni kelaparan,” katanya seperti dikutip Reuters.

Menurut Awan, pemerintah harus bisa menghindari terjadinya kelaparan masif seperti yang terjadi di Afrika. Untuk itu, pemerintah harus membangun pertanian dan mengurangi pasokan dari impor. “Hanya dengan kemampuan diri sendiri kita bisa mewujudkan kemandirian pangan,” katanya.

Awan berharap berbagai proyek-proyek yang dibuat pemerintah bisa lepas dari kepentingan korporasi internasional. “Jangan sampai sendi utama bernegara, yakni pembangunan pangan dikuasai oleh kepentingan Bank Dunia atau negara lain,” katanya.

Awan mengungkapkan, pembangunan waduk, embung, dan benih kalau mau melihat lebih detail selalu ada struktur impor atau penguasaan korporasi internasional. Petani sebagai subjek tak pernah menjadi perhatian utama. “Jadi kalaupun benar ada peningkatan produksi, musti dicek produksi siapa yang meningkat dan siapa yang menikmati hasilnya,” katanya.

Indeks Ketahanan Pangan

Sementara itu, peneliti Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, mengatakan ketidakmampuan Indonesia mengatasi permasalahan ekonomi dalam negeri dapat dilihat dari tiga sektor, yakni pangan, energi, dan produk konsumsi atau manufaktur.

“Beras tahun lalu kita masih impor senilai 351 juta dollar AS, sedangkan pada Januari sampai Juli 2016 kita sudah impor sejumlah 477 juta dolar AS. Bisa diprediksi nilai impor beras Indonesia akan terus meningkat sampai akhir tahun,” katanya.

Berdasarkan data Indeks Ketahanan Pangan Global (Global Food Security Index) 2016, Indonesia menduduki peringkat 71 dari 113 negara yang disurvei, sementara Malaysia peringkat 35, Thailand peringkat 51, dan Vietnam peringkat 57.

Dalam sektor energi, Badan Pusat Statistik mencatat volume impor migas meningkat 0,67 persen dari 36.394 ton pada Januari- September 2015 menjadi 36.639 ton pada periode yang sama 2016. Impor migas didominasi hasil minyak sebesar 18.008 ton atau 15,81 persen dari total impor Indonesia pada 2016. “Neraca energi kita sangat miris karena sebagai negara penghasil energi seperti batu bara dan gas alam, Indonesia justru mengimpor energi olahan seperti LNG. Sebanyak 70-80 persen gas alam mentah diekspor ke luar negeri dan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri kita harus impor LNG,” ujar Heri.

Selain ketergantungan terhadap impor pangan dan energi, pasar Indonesia semakin diserbu oleh produk industri negara lain. Temuan ini ditunjukkan dengan melonjaknya impor barang konsumsi yang meningkat 12,08 persen sepanjang Januari- September 2016, sementara impor bahan baku dan barang modal menurun masing-masing 9,8 persen dan 12,6 persen. “Penurunan impor bahan baku dan barang modal harus dicermati, ini artinya ada dugaan bahwa industri manufaktur Tanah Air mengalami kontraksi atau perlambatan. Hal ini dikonfirmasi dengan ekspor hasil industri yang turun 9,41 persen,” papar Heri.


Sumber: koran-jakarta[dot]com
Share this article :

0 komentar:


Tepung Mocaf

Tepung singkong yang dimodifikasi sehingga berkualitas tinggi...

Untuk Pembelian Tepung Mocaf Hubungi
YULIANA
0271-825266

 
Dipersembahkan oleh Lembaga Penelitian Universitas Jember
Didukung oleh : Universitas Jember | LPDP | BCM
Copyright © 2015. Tepung MOCAF - All Rights Reserved