Konten Terbaru:
Home » » Perburuan Identitas Kuliner Jember

Perburuan Identitas Kuliner Jember

Written By Unknown on Sabtu, 23 Mei 2015 | 23.5.15

Foto: Makanan serba MOCAF calon makanan khas jember

Medio Januari 2015, Bondan Winarno, jurnalis dan pakar kuliner itu, datang ke Kabupaten Jember, Jawa Timur. Dalam sebuah acara promosi buku di Toko Buku Gramedia, ia bicara banyak soal makanan dan melontarkan pertanyaan sederhana: apa makanan khas Jember.

Tak ada yang bisa menjawab dengan tepat. Jawaban yang spontan terlontar adalah: suwar-suwir. Ini jajanan mirip permen, namun terbuat dari singkong yang difermentasikan. Namun Bondan mengatakan, bukan itu maksudnya. Makanan khas bukan jajanan khas. "Suwar-suwir itu kue, bukan makanan," katanya.

Setelah semua menyerah, Bondan akhirnya menjawab: bahwa tak ada jawaban untuk pertanyaannya itu. Jember tidak memiliki makanan khas. Ia menyebutkan sejumlah tempat makan enak di kota ini, namun semuanya tak menyajikan makanan khas lokal. Sebut saja sate kambing Pak Toha atau nasi rawon Bu Darum.

Alangkah malangnya kota ini. Tak heran, jika kemudian Sekretaris Kabupaten Jember Sugiarto tak bisa banyak berkata-kata, jika ada tamu yang bertanya soal makanan khas. "Bingung saya menyebutkannya," katanya.

Jember memiliki banyak tempat makan enak. Namun tak ada yang berani mengklaim itu bagian dari kekhasan Jember, seberani mengklaim suwar-suwir. Kecamatan Gumukmas terkenal dengan sajian ayam pedas. "Apakah ayam pedas khas Jember? Saya lihat memang ayam pedas di luar Jember tidak ada. Ayam pedas di Gumukmas, walau tempatnya terpencil, tapi kunjungan penikmatnya luar biasa. Walau tempatnya sempit, banyak yang datang," kata Sugiarto.

"Kenapa itu tidak bisa diangkat jadi makanan khas Jember yang bisa booming? Ini kan bisa dikemas sedemikian rupa," tambah Sugiarto.

Sugiarto berharap ada keberanian seperti Banyuwangi. "Kalau saya ke Banyuwangi, yang terkenal di sana bukan ayam pedas. Mereka punya rujak soto dan nasi tempong. Nasi tempong kan sederhana, nasi sambal sama lalapan ikan, tapi jadi khas di Banyuwangi," katanya.

Dalam pengantar bukunya tentang makanan tradisional Indonesia, Bondan menulis, Bhinneka Tunggal Ika termanifestasi pada keragaman kuliner Indonesia. "Kuliner tradisional nusantara bukan saja bersifat provinsial, tetapi bahkan sudah bersifat terroir (karakteristik lokal)" katanya.

Bahkan kota sebesar dan semetropolis Jakarta, masih ada makanan asli di sana, walau sebagian kian langka. "Tinggal sebagian kecil ikon kuliner Betawi yang masih eksis di tengah kota, seperti keak telor, nasi uduk, dan sobet alias soto betawi," kata Bondan.

Memang hanya makanan, namun tentu tak bisa diremehkan. Jika menyimak Bondan, tentu saja Jember tertinggal jauh. Jika makanan adalah sebuah penanda peradaban dan kebudayaan, ketiadaan makanan khas semakin memastikan posisi Jember sebagai kota tanpa keaslian identitas. Memang terdengar klise: namun Jember diawali oleh para pendatang dari kawasan Mataraman dan Pulau Madura yang bekerja di perkebunan pada masa Belanda.

Hari ini berbicara dunia wisata dan ekonomi kreatif tak bisa dilepaskan dari urusan kuliner. Makan enak merupakan bagian dari petualangan menikmati hidup. Maka perburuan identitas kuliner menjadi penting untuk melengkapi pusaka alam dan pusaka budaya kota ini.

Ini bukan perburuan yang mudah, mengingat kekhasan lokal biasanya selalu muncul dari masyarakat sendiri. Namun bagaimana berharap akan muncul kekhasan lokal dari masyarakat, jika mereka tak memiliki referensi kultural masa lampau. Pemerintah daerah lantas mencoba mengintervensi melalui penyelenggaraan festival kuliner yang pada 2015 ini sudah berusia sembilan tahun.

Pemda agaknya terilhami dengan munculnya tarian Lah Bako yang menjadi identitas Jember. Padahal tari ini tidak muncul dari tradisi, melainkan dari tafsir kreatif yang dilakukan seniman Jogjakarta Bagong Kusudiarjo pada era 1980-an. Bagong menciptakan tari itu atas permintaan Pemkab Jember.

Sembilan kali digelar, Festival Kuliner Jember masih belum menemukan kesepakatan soal apa makanan khas kota ini. Kepala Kantor Pariwisata Sandi Suwardi Hasan mengakui itu, dan mengatakan jika festival itu baru sebatas memacu pertumbuhan ekonomi kuliner.

Sandi mengatakan, perlu ada pakar yang memberikan label dan justifikasi makanan khas Jember. "Kami butuh orang tertentu untuk 'membaptis' makanan ini khas Jember," katanya.

Orang tertentu itu adalah budayawan dan pakar kuliner. Sandi memimpikan sebuah forum yang terdiri atas budayawan dan akademisi yang menggali kekayaan budaya di Jember dan membangun imaji tentang itu. Harus dibuat image building. "Misalkan ada budayawan kampus Universitas Jember, yang setelah baca literatur, bahwa daun lamtoro ini digunakan sebagai bumbu yang menguatkan masakan ini di Jember, semacam itu," katanya.

Sandi percaya bahwa labelisasi penting dalam pengenalan kuliner khas suatu daerah. Ia mencontohkan pecel Madiun. "Pecel di mana-mana ada. Tapi lebih dulu di-trade mark pecel madiun," katanya.

Jadi, Sandi menginginkan agar pengusaha bisnis kuliner berani memberikan labelisasi. "Misalkan ada sambal teri, kenapa tidak disebut sambal teri Jember? Perkara untuk membedakan cita rasa, bisa dikasih petis Puger," katanya.

Ini sudah dilakukan untuk makanan pecel di Garahan, Kecamatan Silo. Orang kini banyak mengenal pecel Garahan saat melintasi Garahan yang berbatasan dengan Kabupaten Banyuwangi.

Sandi mengatakan, festival kuliner adalah bagian dari untuk menguji konsistensi. Konsistensi membuat sesuatu dikenal, dan tahap berikutnya barulah 'brand' dan promosi. 'Brand' diciptakan di benak kita, sebagaimana halnya JFC. "Branding dan promosi baru kepikir akhir-akhir ini. Kami coba komunikasikan dengan agen-agen tur, di Jember ada destinasi wisata alam dan kuliner. Kami mengupayakan paket wisata kuliner," kata Sandi.

Saya khawatir, Pemkab Jember melompat terlalu jauh. Apa yang hendak 'di-branding' jika sajian kuliner itu belum ada. Dalam Festival Kuliner Jember tahun ini, ada nasi edamame. Namun, menurut Sugiarto, nasi edamame masih harus memiliki nilai lebih untuk bisa dikatakan sebagai makanan khas Jember. Artinya lagi-lagi belum ada kesepakatan tentang apa yang khas

"Saya berharap teman-teman di restoran dan pegiat masakan rumah tangga atau industri masakan olahan bisa berkreasi menciptakan menu khas jember. Saya berharap lewat PHRI (Pengusaha Hotel dan Restoran Indonesia) bisa mengumpulkan chef untuk menciptakan menu baru," tambah Sugiarto.

Sugiarto menegaskan, menu ini nantinya tak eksklusif milik satu restoran, namun dimasyarakatkan. Kuncinya adalah berani menyajikan menu berbeda. "Misal gudeg pecel. Gudeg bukan milik kita, tapi kalau dikreasi bisa jadi andalan. Saya berharap kita punya itu, walau tak dalam kurun waktu pendek ada keinginan menciptakan menu andalan," katanya.

Sebenarnya dalam urusan kuliner, Jember bisa mengacu pada apa yang terjadi pada Jember Fashion Carnaval. JFC hari ini sudah menjadi identitas Jember. Ada ratusan atau bahkan mungkin ribuan karnaval di Indonesia. Namun tak ada yang bisa menggeser imaji JFC. Saat publik berbicara karnaval, maka JFC selalu menjadi acuan. Bahkan terakhir, konsep  Wonderful Archipelago Carnival Indonesia (WACI) yang digagas pemerintah tak jauh (atau bahkan mirip) dengan konsep JFC yang digagas Dynand Fariz.

Di mana kuncinya? Kebaruan dan, sebagaimana kata Sugiarto, keberanian. Jika Anda tak punya referensi historis, maka carilah referensi kontemporer. Ciptakanlah tren. Berbeda dengan karnaval Banyuwangi yang masih mengandalkan referensi masa silam karena kuatnya warisan sejarah kota itu, JFC justru menjadi pot bagi berbagai tafsir fesyen dengan referensi lintas batas, baik etnis maupun negara.

Tentu saja, ini butuh waktu. Saya masih ingat betul bagaimana pada masa awal penyelenggaraan, Dynand Fariz harus berkali-kali mendatangi gedung DPRD Jember hanya untuk menjelaskan bahwa JFC bukan ajang pamer aurat. Meyakinkan publik adalah pekerjaan besar, dan itu butuh konsistensi, juga keberanian.

Sejauh ini ada satu lembaga yang sudah teruji memiliki kebaruan, konsistensi, dan keberanian dalam urusan pangan: kampus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember. Di sana lahir beras cerdas, yang merupakan beras artifisial dari singkong. Setiap tahun para mahasiswa ditantang menemukan hal-hal baru yang bisa menjadi alternatif makanan sehat, termasuk mengolah bagaimana beras artifisial itu menjadi lebih enak dimakan.

Bondan sendiri pernah memuji Achmad Subagyo, dosen FTP Unej, yang berjasa besar dalam pengembangan beras cerdas dan tepung singkong termodifikasi sebagai pengganti gandum (modified cassava flour atau mocaf). "Saya usul ke pemerintah agar di kantin-kantin sekolah ada makanan semacam kwetiao yang terbuat dari tepung mocaf dan pakai bakso ikan," katanya.

Hal yang mungkin bisa dilakukan oleh Pemkab Jember adalah memperkuat ikatan kampus seperti FTP dengan dunia ekonomi kuliner. Apalagi proses pembuatan beras cerdas dan sejumlah makanan olahan di kampus itu terhitung mudah diadaptasi oleh masyarakat awam.

Bayangkan: jika kelak setiap kali orang bercerita soal Jember, maka yang terbayang adalah nasi cerdas yang terbuat dari singkong dan dimakan dengan lalapan pedas dendeng artifisial yang terbuat dari daun genjer bukan dari daging sapi.

Aneh? Mungkin begitu awalnya. Namun mengapa tidak dicoba? Mengutip kawan saya RZ Hakim, salah satu kekhasan dan kekuatan Jember adalah keterbukaan kami terhadap keberagaman. Keterbukaan adalah bagian dari keberanian. Jember Berani!

Share this article :

0 komentar:


Tepung Mocaf

Tepung singkong yang dimodifikasi sehingga berkualitas tinggi...

Untuk Pembelian Tepung Mocaf Hubungi
YULIANA
0271-825266

 
Dipersembahkan oleh Lembaga Penelitian Universitas Jember
Didukung oleh : Universitas Jember | LPDP | BCM
Copyright © 2015. Tepung MOCAF - All Rights Reserved