Konten Terbaru:
Home » » Menjaga Singkong atau Hutan?

Menjaga Singkong atau Hutan?

Written By Unknown on Kamis, 09 April 2015 | 9.4.15

Menjaga Singkong atau Hutan?

09 Apr 2015 | 14:59
Sore, ketika saya berkunjung ke kediaman Pak Samin, beliau baru saja pulang dari kota untuk menjual kayu bakar. "Saya butuh buat bayar anak sekolah pak, ini tadi saya balik empat kali". "Mau balik ambil lagi pak?", tanya saya. "sudah cukup untuk hari ini, monggo silahkan masuk", jawab Pak Samin sambil mempersilahkan saya masuk.

Pak Samin sebetulnya adalah petani yang menanam singkongnya di areal hutan sebagai pesanggem. Beliau menanam kurang lebih satu hektar, dengan perkiraan jumlah batang singkongnya sebanyak limaribu batang, kalau panennya bagus setidaknya Pak Samin bisa mendapatkan tujuh sampai delapan ton singkong basah. Kalau pas harga singkong bagus bisa laku sampai 5-6 jt.an, itu kalau harga bagus. "Tapi kalau panen raya, mana ada harga bagus ya pak?", keluh beliau. Pendapatan 6 jt.an itu ia dapatkan setelah menunggu 10-12 bulan masa panen singkong, dan tentu itu bukan pendapatan bersih, sebab ada biaya yang harus dikeluarkan ketika saat tanam.

Selain menjadi petani singkong, Pak Samin juga menggeluti profesi sebagai tukang pijat panggilan. "Lumayan pak, bisa buat tambahan beli gula". Tapi ada profesi tambahan lagi yang membuat saya harus berkenalan dan dekat dengan beliau, yaitu ahli taksir singkong. Pak Samin punya keahlian memprediksi jumlah singkong yang dihasilkan dalam satu luasan, dan konon hasilnya jarang sekali berselisih banyak.

Sore itu saya diajak untuk melihat lahan yang ditanaminya, sembari menunjukkan kepada saya luasan lahan singkong yang menurutnya lebih dari 300 hektar ditanam oleh penduduk. Sepanjang mata memandang memang yang nampak adalah hamparan pohon singkong dengan sedikit nampak pohon jati kecil di beberapa titik.

"Kalau pohon jatinya besar, njenengan tanam apa pak?", tanyaku. "Ya.....jangan sampai besar pak, nanti kami bagaimana? keluarga kami mau makan apa?".

Ooooh.....rupanya mencegah tumbuh besarnya pohon jati yang mestinya dirawat oleh pesanggem adalah suatu upaya agar mereka tetap bisa menanam singkong selamanya. Selama ini, ketika pohon jati sudah setinggi layak untuk dijadikan kayu bakar, mereka potong lagi, kayu di jual, dan lahan aman untuk tetap ditanami singkong.

"Kalau sampai dibiarkan tumbuh 3-4 tahun, daun jati sudah menutupi sinar matahari pak, singkong tidak bagus tumbuhnya".

"Belum lagi nanti kalau sudah rimbun, kami mau nanam apa?, keluarga kami mau makan apa?", lanjutnya.

Sore sudah hendak tinggalkan singgasananya ketika kami tiba kembali dirumah Pak Samin. Kopi dan rokok akhirnya membawa kami untuk mengobrol lebih banyak tentang singkong dan penduduk.

-------

Cukup banyak warga penduduk sekitar hutan di situ yang memiliki profesi sambilan khusus mencari kayu bakar. Per ikat kayu bakar laku dijual Rp. 30.000,-, kalau mereka bisa 4-5 kali pulang balik hutan ke pasar, ya lumayan juga pendapatan mereka, meskipun masih teramat kecil dibanding gagalnya reboasasi hutan oleh pihak perhutani. Perhutani sendiri bukannya membiarkan hal itu berlangsung terus, namun apa daya mereka ketika dihadapkan pada kebutuhan perut penduduk, sementara belum ada solusi yang jitu untuk mencegah itu semua. Memperlakukan para pencari kayu bakar dengan hukum, hanya akan menimbulkan perselisihan yang sama sekali tidak menyelesaikan masalah.

Satu-satunya cara untuk mengurangi kegiatan penggundulan hutan tanpa mematikan mata pencaharian mereka hanyalah dengan memberdayakan penduduk dengan memanfaatkan hasil tanaman singkongnya. Penduduk/petani singkong, sedapat mungkin tidak menjual singkongnya dalam bentuk raw material seperti selama ini.

Sekedar solusi sederhana. Hanya dengan menempatkan mesin pencacah singkong dengan pengering sederhana, penduduk akan mendapat tambahan pekerjaan dengan mengupas singkong. Dengan upah kupas 15 rupiah per kilogram, seandainya setiap keluarga mampu mengupas 200 kg sehari, setidaknya ada tambahan penghasilan sebesar 30 ribu, itu setara dengan pendapatan bersih mencari (menebang) kayu.

Kalau kegiatan itu dalam dilakukan, tinggal menambah fasilitas perendaman, maka penduduk sudah dapat memproduksi sendiri tepung mocaf, meskipun jika tidak memiliki fasilitas perendaman untuk fermentasi, singkong dapat dijual dalam bentuk gaplek chip.

Lebih hebat lagi, kalau proses pasca panen seperti diatas dikelola oleh koperasi penduduk yang sebagian sahamnya dimiliki oleh pengusaha yang membutuhkan bahan baku singkong bagi pabriknya. Selain mempercepat proses pendirian usahanya, akan ada jaminan pemasaran bagi produknya. Pemerintah daerah tinggal jadi fasilitator.

Intinya, banyak sekali yang bisa dilakukan oleh pemerintah ketimbang sekedar hura-hura politik yang makin menyebalkan.

:moko
Foto: Koleksi penulis sendiri
Sumber: http://m.kompasiana.com/post/read/736636/1/menjaga-singkong-atau-hutan.html
Share this article :

0 komentar:


Tepung Mocaf

Tepung singkong yang dimodifikasi sehingga berkualitas tinggi...

Untuk Pembelian Tepung Mocaf Hubungi
YULIANA
0271-825266

 
Dipersembahkan oleh Lembaga Penelitian Universitas Jember
Didukung oleh : Universitas Jember | LPDP | BCM
Copyright © 2015. Tepung MOCAF - All Rights Reserved