Foto: Tanaman sagu di Maluku Barat, terabaikan potensinya sebagai bahan pangan
Oleh: Khudori Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat dan pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
BELUM genap empat bulan 2015 berjalan, negeri ini kembali dirundung soal pangan. Setelah gonjang-ganjing harga beras yang melejit tinggi, kini hal serupa terjadi pada harga kedelai. Sebaliknya, peternak ayam menjerit karena harga jatuh. Dalam beberapa bulan ke depan, gonjang-ganjing bakal terjadi juga pada harga gula, daging, cabai, dan entah apa lagi. Rutinitas itu seperti penyakit menahun yang timbul-tenggelam dan bergantung pada momentumnya.
Sejumlah hal bisa diajukan sebagai penjelasan sahih. Mulai kebijakan berorientasi pasar, penyerahan semua urusan pangan ke daerah, ketergantungan impor pangan yang nyaris tak tersentuh, konsentrasi distribusi di segelintir pelaku, hingga peran stabilisasi Bulog yang kian lemah. Tanpa mengesampingkan kelima faktor tersebut, sesungguhnya penjelasan itu belum mencukupi untuk mengurai akar masalah pangan kita. Ada satu sumbu utama yang membuat pangan acak adul, yakni ketiadaan kelembagaan pangan.
Kelembagaan merupakan aturan main, baik bersifat struktural maupun kultural. Kelembagaan lebih luas daripada sekadar organisasi. Secara struktural, saat ini tidak ada kelembagaan (baca: organisasi) pangan. Setelah dibentuk pada 1993, menteri negara urusan pangan dibubarkan pada 1999. Sejak itu hingga kini tak ada lagi lembaga yang bertugas merumuskan kebijakan, mengoordinasikan, dan mengarahkan pembangunan pangan.
Akibatnya, bukan saja tidak sinergi dengan pemda (provinsi, kabupaten/kota), 14 kementerian dan lembaga yang terkait urusan pangan menjadi tidak fokus, jalan sendiri-sendiri, dan yang memprihatinkan justru kebijakan masing-masing saling menegasikan. Harga beras yang melejit tinggi merupakan contoh betapa buruknya manajemen kelembagaan pangan kita. Jika plan-do-check-action dilakukan konsisten, penaikan harga beras dapat diantisipasi dengan baik sejak dini tanpa ada kegaduhan, baik berulangnya budaya melempar batu sembunyi tangan maupun tudingan kambing hitam 'mafia beras'.
Tahun lalu, BMKG jauh-jauh hari telah merilis kemarau akan mundur 1-1,5 bulan. Karena usaha tani padi amat bergantung pada iklim dan cuaca, tanam dan panen pun mundur 1-1,5 bulan. Artinya, musim paceklik yang biasanya berakhir tiap Januari akan mundur hingga Februari, bahkan Maret. Harga gabah/beras yang naik tajam saat paceklik berpotensi kian mendaki.
Celakanya, informasi yang amat terang benderang dan telah diketahui dari pengalaman berpuluh-puluh tahun itu tidak diimbangi langkah yang cukup.
Pertama, informasi pasokan beras yang menipis di pasar dibiarkan berminggu-minggu. Indikatornya mudah, jumlah beras yang masuk ke Pasar Beras Induk Cipinang berminggu-minggu berjumlah 1.500 ton/hari, atau hanya separuh dari kondisi normal. Kedua, jumlah beras operasi pasar tidak memadai. Jumlah beras operasi pasar yang dilakukan Bulog dari Desember 2014-Januari 2015 yang menggandeng PT Food Station hanya 75 ribu ton. Jumlah itu 'tidak nendang' karena tidak dapat menutup tipisnya pasokan beras di pasar akibat paceklik. Apalagi, pada November 2014 hingga Januari 2015 raskin tak dibagikan. Jumlahnya 700 ribu ton. Stok beras yang menipis di pasar jadi rebutan. Sebagai makhluk ekonomi, amat lumrah jika pedagang lantas memanfaatkan celah (baca: peluang) itu untuk meraih keuntungan.
Jika kemudian mismanajemen itu berbuah harga beras melonjak tinggi, itu merupakan keniscayaan. Selama bertahun-tahun, strategi stabilisasi harga di negeri ini mengajarkan agar bisa berlangsung dengan baik, strategi tersebut memerlukan integrasi hulu-hilir, dari kebijakan produksi, referensi harga gabah/beras, penyaluran raskin, operasi pasar hingga sistem tata niaga beras secara keseluruhan. Ternyata langkah organisasi pangan pemerintah (Kementan, Kemendag, dan Bulog) tersebut tambal sulam. Wacana penggantian raskin dengan voucher/e-money oleh Kementerian BUMN makin memperkeruh suasana.
Keberadaan kelembagaan pangan penting karena dua hal. Pertama, pemerintah bisa dinilai melanggar UU jika kelembagaan pangan tak dibentuk. Sesuai dengan Pasal 151 UU No 18/2012 tentang Pangan, lembaga pemerintah yang menangani pangan harus terbentuk paling lambat tiga tahun sejak UU ditetapkan alias paling lambat Oktober 2015. Kedua, kelembagaan pangan jadi keniscayaan guna mengisi kevakuman. Kelembagaan yang ada saat ini tidak memadai sebagai penggerak dan dirigen pangan karena powerless.
Tantangan pangan ke depan kian berat bukan hanya karena menurunnya kapasitas pangan domestik dalam berbagai aspek, melainkan juga ancaman geopolitik pangan global yang dikontrol secara monolitik oleh segelintir korporasi multinasional. Dengan sistem rantai pangan (agrifood chain), korporasi multinasional dapat mengontrol rantai pangan dari gen sampai rak-rak di supermarket tanpa ada titik-titik penjualan (Eagleton, 2005). Konsekuensi arsitektur pangan seperti itu, pertama, instabilitas jadi keniscayaan.
Krisis pangan 2008 dan 2011 jadi bukti, harga pangan pada saat itu bergerak bak roller coaster. Kedua, krisis pangan berulang. Celakanya, krisis pangan selalu bersentuhan dengan instabilitas politik.
Dalam berbagai kesempatan, Jokowi-JK bertekad menempatkan sektor pertanian pada posisi penting guna menggapai kedaulatan pangan. Itu ditempuh lewat sejumlah langkah, yakni membagikan 9 juta ha lahan ke petani, menambah kepemilikan lahan dari 0,3 ha menjadi 2 ha per keluarga petani, perbaikan irigasi di 3 juta ha sawah, membangun 25 bendungan, mencetak 1 juta ha sawah baru, dan 1 juta ha lahan pertanian kering baru di luar Jawa-Bali. Itu termasuk mendirikan bank pertanian, mendorong industri pengolahan, 1.000 desa berdaulat benih dan 1.000 desa go organic. Tentu hal tersebut bagus. Namun, itu semua tidak cukup. Tanpa kelembagaan pangan yang powerfull, rutinitas masalah pangan akan tetap berulang.
Sejumlah hal bisa diajukan sebagai penjelasan sahih. Mulai kebijakan berorientasi pasar, penyerahan semua urusan pangan ke daerah, ketergantungan impor pangan yang nyaris tak tersentuh, konsentrasi distribusi di segelintir pelaku, hingga peran stabilisasi Bulog yang kian lemah. Tanpa mengesampingkan kelima faktor tersebut, sesungguhnya penjelasan itu belum mencukupi untuk mengurai akar masalah pangan kita. Ada satu sumbu utama yang membuat pangan acak adul, yakni ketiadaan kelembagaan pangan.
Kelembagaan merupakan aturan main, baik bersifat struktural maupun kultural. Kelembagaan lebih luas daripada sekadar organisasi. Secara struktural, saat ini tidak ada kelembagaan (baca: organisasi) pangan. Setelah dibentuk pada 1993, menteri negara urusan pangan dibubarkan pada 1999. Sejak itu hingga kini tak ada lagi lembaga yang bertugas merumuskan kebijakan, mengoordinasikan, dan mengarahkan pembangunan pangan.
Akibatnya, bukan saja tidak sinergi dengan pemda (provinsi, kabupaten/kota), 14 kementerian dan lembaga yang terkait urusan pangan menjadi tidak fokus, jalan sendiri-sendiri, dan yang memprihatinkan justru kebijakan masing-masing saling menegasikan. Harga beras yang melejit tinggi merupakan contoh betapa buruknya manajemen kelembagaan pangan kita. Jika plan-do-check-action dilakukan konsisten, penaikan harga beras dapat diantisipasi dengan baik sejak dini tanpa ada kegaduhan, baik berulangnya budaya melempar batu sembunyi tangan maupun tudingan kambing hitam 'mafia beras'.
Tahun lalu, BMKG jauh-jauh hari telah merilis kemarau akan mundur 1-1,5 bulan. Karena usaha tani padi amat bergantung pada iklim dan cuaca, tanam dan panen pun mundur 1-1,5 bulan. Artinya, musim paceklik yang biasanya berakhir tiap Januari akan mundur hingga Februari, bahkan Maret. Harga gabah/beras yang naik tajam saat paceklik berpotensi kian mendaki.
Celakanya, informasi yang amat terang benderang dan telah diketahui dari pengalaman berpuluh-puluh tahun itu tidak diimbangi langkah yang cukup.
Pertama, informasi pasokan beras yang menipis di pasar dibiarkan berminggu-minggu. Indikatornya mudah, jumlah beras yang masuk ke Pasar Beras Induk Cipinang berminggu-minggu berjumlah 1.500 ton/hari, atau hanya separuh dari kondisi normal. Kedua, jumlah beras operasi pasar tidak memadai. Jumlah beras operasi pasar yang dilakukan Bulog dari Desember 2014-Januari 2015 yang menggandeng PT Food Station hanya 75 ribu ton. Jumlah itu 'tidak nendang' karena tidak dapat menutup tipisnya pasokan beras di pasar akibat paceklik. Apalagi, pada November 2014 hingga Januari 2015 raskin tak dibagikan. Jumlahnya 700 ribu ton. Stok beras yang menipis di pasar jadi rebutan. Sebagai makhluk ekonomi, amat lumrah jika pedagang lantas memanfaatkan celah (baca: peluang) itu untuk meraih keuntungan.
Jika kemudian mismanajemen itu berbuah harga beras melonjak tinggi, itu merupakan keniscayaan. Selama bertahun-tahun, strategi stabilisasi harga di negeri ini mengajarkan agar bisa berlangsung dengan baik, strategi tersebut memerlukan integrasi hulu-hilir, dari kebijakan produksi, referensi harga gabah/beras, penyaluran raskin, operasi pasar hingga sistem tata niaga beras secara keseluruhan. Ternyata langkah organisasi pangan pemerintah (Kementan, Kemendag, dan Bulog) tersebut tambal sulam. Wacana penggantian raskin dengan voucher/e-money oleh Kementerian BUMN makin memperkeruh suasana.
Keberadaan kelembagaan pangan penting karena dua hal. Pertama, pemerintah bisa dinilai melanggar UU jika kelembagaan pangan tak dibentuk. Sesuai dengan Pasal 151 UU No 18/2012 tentang Pangan, lembaga pemerintah yang menangani pangan harus terbentuk paling lambat tiga tahun sejak UU ditetapkan alias paling lambat Oktober 2015. Kedua, kelembagaan pangan jadi keniscayaan guna mengisi kevakuman. Kelembagaan yang ada saat ini tidak memadai sebagai penggerak dan dirigen pangan karena powerless.
Tantangan pangan ke depan kian berat bukan hanya karena menurunnya kapasitas pangan domestik dalam berbagai aspek, melainkan juga ancaman geopolitik pangan global yang dikontrol secara monolitik oleh segelintir korporasi multinasional. Dengan sistem rantai pangan (agrifood chain), korporasi multinasional dapat mengontrol rantai pangan dari gen sampai rak-rak di supermarket tanpa ada titik-titik penjualan (Eagleton, 2005). Konsekuensi arsitektur pangan seperti itu, pertama, instabilitas jadi keniscayaan.
Krisis pangan 2008 dan 2011 jadi bukti, harga pangan pada saat itu bergerak bak roller coaster. Kedua, krisis pangan berulang. Celakanya, krisis pangan selalu bersentuhan dengan instabilitas politik.
Dalam berbagai kesempatan, Jokowi-JK bertekad menempatkan sektor pertanian pada posisi penting guna menggapai kedaulatan pangan. Itu ditempuh lewat sejumlah langkah, yakni membagikan 9 juta ha lahan ke petani, menambah kepemilikan lahan dari 0,3 ha menjadi 2 ha per keluarga petani, perbaikan irigasi di 3 juta ha sawah, membangun 25 bendungan, mencetak 1 juta ha sawah baru, dan 1 juta ha lahan pertanian kering baru di luar Jawa-Bali. Itu termasuk mendirikan bank pertanian, mendorong industri pengolahan, 1.000 desa berdaulat benih dan 1.000 desa go organic. Tentu hal tersebut bagus. Namun, itu semua tidak cukup. Tanpa kelembagaan pangan yang powerfull, rutinitas masalah pangan akan tetap berulang.
0 komentar: