Jakarta, (Antarariau.com) - Di awal masa pemerintahannya, Presiden RI
Joko Widodo memprogramkan untuk meraih kembali swasembada pangan, yang
dulu pernah dicapai pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto.
Bahkan, pemerintahan Jokowi-JK menargetkan akan mencapai swasembada pangan dalam waktu tiga tahun.
Sepertinya
Presiden tidak ingin main-main dengan target swasembada pangan
tersebut, terlebih lagi swasembada pangan merupakan manivestasi dari
visi ketujuh pemerintah Jokowi-JK yang tertuang dalam Program Nawacita.
Salah
satu yang tertuang dalam Nawacita tersebut, yaitu mewujudkan
kemandirian ekonomi nasional dengan menggerakkan sektor-sektor strategis
ekonomi domestik, salah satunya sektor pertanian melalui upaya
membangun dan mewujudkan kedaulatan pangan.
Menurut Jokowi, Indonesia harus sudah bisa mandiri atau swasembada pangan dalam tiga tahun. "Tidak boleh ditawar," ujarnya.
Sejumlah
komoditas pangan utama yang menjadi target swasembada, yakni padi,
jagung, dan kedelai terjadi 1--3 tahun ke depan. Menteri Pertanian Amran
Sulaiman menuturkan bahwa pemerintah telah membuat target untuk
masing-masing komoditas tersebut.
Untuk padi agar bisa mencapai
swasembada, menurut dia, produksi harus mencapai 73 juta ton. "Insya
Allah, pada tahun 2015, Departemen Pertanian menargetkan 73 juta ton dan
jagung rencananya ditargetkan 20 juta ton pada tahun 2016," katanya.
Kendati
demikian, untuk mencapai swasembada kedelai, Mentan mengakui hal itu
agak berat. "Insya Allah tiga tahun baru kita mencapai swasembada
(kedelai)," kata Amran di Kantor Wapres, Jakarta, Senin (15/12).
Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2013, disebutkan bahwa
produksi padi sebesar 71,28 juta ton gabah kering giling (GKG) atau
mengalami kenaikan sebesar 2,22 juta ton, atau sebesar 3,22 persen jika
dibandingkan pada tahun 2012.
Sementara itu, untuk produksi padi
pada tahun 2014 (ARAM I) diperkirakan sebesar 69,87 juta ton GKG atau
mengalami penurunan sebesar 1,41 juta ton atau 1,98 persen dibandingkan
pada tahun 2013.
Penurunan produksi diperkirakan terjadi karena
penurunan luas panen seluas 265.310 hektare atau sekitar 1,92 persen dan
produktivitas sebesar 0,03 kuintal per hektare atau sebesar 0,06
persen.
Melihat target yang tidak ringan tersebut, pemerintah pun
segera melakukan berbagai langkah, antara lain menyelesaikan berbagai
kendala yang dinilai akan menghambat pencapaian swasembada pangan dalam
tiga tahun mendatang.
Berbagai persoalan mendasar tersebut,
menurut Mentan Amran Sulaiman, yakni rusaknya saluran irigasi hampir di
seluruh wilayah Indonesia, penyaluran pupuk dan benih, ketersediaan alat
dan mesin pertanian (alsintan), serta keberadaan penyuluh pertanian
yang dinilai masih sangat minim.
Terkait dengan rusaknya saluran
irigasi, Amran mengatakan bahwa kerusakan pada saluran irigasi, baik
primer, sekunder, maupun tersier tersebut, kurang lebih 52 persen
saluran irigasi yang ada di Indonesia. Dalam kurun waktu 20 tahun
terakhir ini, belum pernah ada perbaikan.
"Presiden telah
mengeluarkan Perpres Nomor 172 Tahun 2014, dan saluran irigasi pada
tahun 2015 akan kami perbaiki, kurang lebih untuk satu juta hektare di
seluruh Indonesia. Kami akan perbaiki secara bertahap," ujarnya.
Mengenai
persoalan pupuk, Mentan mengatakan bahwa hal itu terkait dengan
distribusi di lapangan dan terkadang tidak cukup. Sementara itu, serapan
benih pada tahun 2014 hanya 20 persen sehingga membuat produksi petani
mengalami penurunan.
Terkait dengan permasalahan tersebut,
Kementerian Pertanian akan memberikan pupuk gratis sebanyak 57.000 ton,
dan bantuan benih gratis untuk lima juta hektare sawah di seluruh
Indonesia.
Saat ini, pemerintah telah menyiapkan dana sebesar
Rp28 triliun untuk subsidi pupuk senilai dengan 9,5 juta ton pupuk dan
Rp2 triliun pada benih. Bantuan dana subsidi ini dimaksudkan untuk
menggenjot terwujudnya swasembada pangan di Indonesia.
Arman
mengatakan bahwa alokasi anggaran tersebut sudah masuk dalam APBN
Perubahan 2015 yang akan diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Untuk alat pertanian, Kementerian Pertanian berencana memberikan sebanyak 61.000 unit.
Terkait
dengan kekurangan penyuluh sebanyak 21.000 orang, Mentan telah
melakukan MoU dengan TNI. Dalam hal ini akan ada kerja sama dengan
Babinsa seluruh Indonesia yang saat ini jumlahnya sekitar 52.000 orang
dan juga dengan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL).
Langkah lain
yang telah diambil Kementerian Pertanian adalah dengan direalisasikannya
dana kontingensi kurang lebih Rp600 miliar. Dana tersebut disalurkan
menjadi traktor untuk para petani di Indonesia.
"Traktornya telah
diterima 100 persen di 14 provinsi. Selain itu, kami melakukan
refocusing anggaran yang rencananya diperuntukkan bagi bangunan pada
tahun 2015. Akan tetapi, kami alihkan untuk pertanian sebesar Rp4,1
triliun, sementara pada RAPBN-P 2015 kami usulkan Rp20 triliun," ujar
Amran.
Sementara itu, khusus padi, Mentan menyatakan untuk
mencapai swasembada pangan dalam waktu tiga tahun mendatang, pihaknya
mendorong peningkatan produksi sebesar 11 juta ton pada tahun 2015 dari
wilayah-wilayah penghasil padi di Indonesia.
Ia menyatakan para
gubernur telah mendukung rencana swasembada. Mereka berjanji akan
meningkatkan produksi dengan total keseluruhan 11 juta ton. Beberapa
wilayah yang akan meningkatkan produksi padi, antara lain Jawa barat dan
Jawa Timur yang menyanggupi kenaikan sebesar dua juta ton, sementara
untuk Jawa Tengah sebanyak 1,5 juta ton, serta Sumatera Barat dan
Sumatera Utara masing-masing satu juta ton.
"Seluruhnya 11 juta ton. Jika separuhnya terpenuhi, swasembada bisa tercapai," ujar Amran.
Sementara
itu, Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan para insinyur
Indonesia turun ke lapangan untuk memberikan bimbingan kepada petani.
Menurut dia, untuk mencapai target swasembada pangan dalam tiga tahun,
para insinyur harus proaktif memberikan penyuluhan kepada petani.
"Insinyur-insinyur
pertanian kita jangan di belakang meja, harus kembali ke lapangan,
berikan bimbingan kepada petani-petani kita," ujarnya saat acara
"Penghargaan Adikarya Pangan Nusantara 2014" di Kecamatan Sukamandi,
Subang, Jawa Barat, Jumat (26/12).
Selain itu, Jokowi meminta
para kepala daerah dan menteri pembantunya untuk bekerja keras
mewujudkan swasembada pangan ini. Jika tidak, dia mengancam untuk tidak
segan-segan memecatnya.
Penunjukan Langsung
Sementara
itu, pemerintah mengeluarkan surat edaran agar penunjukan pengadaan
bibit dan perbaikan tersier atau perbaikan saluran irigasi takperlu lagi
melalui sistem tender. Surat edaran itu untuk menunjang swasembada
pangan yang direncanakan pemerintah terwujud satu atau dua tahun ke
depan.
Surat edaran itu ditandatangani oleh Wakil Presiden RI
Jusuf Kalla, Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil, Menteri
Pertanian Amran Sulaiman, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Basuki Hadimuljo, Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan
Mardiasmo, Wakapolri Komjen Pol. Badrodin Haiti, dan Jaksa Agung H.M.
Prasetyo.
Bila dilakukan tender, menurut Jusuf Kalla, memakan
waktu 45 hari. Selain itu, dari pengalaman dua tahun lalu, proses tender
melahirkan mafia pangan dan menghambat swasembada pangan.
Wapres
juga menuturkan bahwa keterlibatan Polri dan Kejaksaan Agung guna
memberi kepastian payung hukum bahwa penunjukan langsung tak menyalahi
aturan.
Untuk penyaluran pupuk bersubsidi ada tiga BUMN yang
sudah ditunjuk pemerintah, yaitu PT Sang Hyang Seri, PT Pupuk, dan PT
Pertani.
Terkait dengan harga bibit, karena penunjukan langsung,
pemerintah yang menentukan harga tersebut. Pihak yang berwenang
menentukan adalah Kementerian Pertanian bersama Badan Pengawas Keuangan
dan Pembangunan. Mereka mengaku telah terjun ke 13 provinsi.
"Harga disesuaikan di wilayah masing-masing," kata Mentan.
Keterbatasan Lahan
Pengamat
pertanian Khudori menilai Indonesia sampai saat ini masih sulit untuk
mencapai swasembada pangan. Hal itu disebabkan relatif banyaknya perang
komoditas di lahan yang terbatas. Saat ini terdapat 18 komoditas
nasional yang terus digenjot produktivitasnya oleh pemerintah, sedangkan
lahan pertanian tidak mengalami penambahan.
Menurut dia,
pemerintah harus lebih peka lagi terhadap upaya-upaya pencapaian
swasembada pangan itu sendiri. Pasalnya, kemampuan pemerintah dalam
membuka lahan baru di Indonesia untuk saat ini sangat terbatas.
Selain itu, mengenai infrastruktur seperti irigasi juga menyebabkan Indonesia sulit capai swasembada pangan.
"Irigasi
yang menjamin ketersediaan air apakah pada saat kemarau maupun hujan.
Kalau hujan, petani tetap bisa tanam. Akan tetapi, kan yang terjadi kan
dua-duanya menjadi masalah," katanya.
Ketua Tani Nelayan Andalan
(KTNA) Winarno Tohir memandang perlu peraturan untuk meredam alih fungsi
lahan pertanian. Ia menceritakan lahan produktif di Jawa yang kian
menyusut. Sekarang ini luasnya sekitar 3,5 juta hektare karena berkurang
600.000 hektare dibandingkan tahun lalu.
"Di Jawa, alih fungsi
lahan paling banyak terjadi di Jawa Barat. Kebanyakan alih fungsi lahan
pertanian ini digunakan untuk perumahan," katanya.
Menteri
Pertanian Kabinet Indonesia Bersatu II Suswono menyebutkan ada beberapa
prasyarat yang memang harus dipenuhi untuk bisa mencapai swasembada.
Pertama, ketersediaan lahan, bahwa untuk menambah produksi untuk tebu
saja misalnya untuk swasembada gula paling tidak minimal 350.000
hektare, untuk kedelai paling tidak minimal 500.000 hektare.
Direktur
lembaga kajian ekonomi, INDEF, Enny Sri Hartati berpendapat bahwa
lemahnya koordinasi antarkementerian dan lembaga dalam pemerintahan saat
ini mengakibatkan tidak tercapainya swasembada selama ini.
Kementerian
Pertanian, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan lembaga terkait
lainnya, kata dia, harus punya kemauan politik meningkatkan pertanian di
dalam negeri. Ia mengingatkan, selain mampu menjaga ketahanan pangan,
sektor pertanian yang dikelola dengan baik akan menciptakan lapangan
kerja, menekan angka kemiskinan hingga pada akhirnya mampu meningkatkan
pertumbuhan ekonomi.
"Memang betapa mahalnya koordiansi yang ada
di negara yang namanya NKRI walaupun di sana ada kebijakan otonomi
daerah, bahkan antarsektor mestinya enggak ada egosektoral dan
egoregional. Nah, ini yang harus didesain menyelesaikan persoalan itu,"
ujar Enny.
Sementara itu, Sekjen Petani Nasdem Syaiful Bahri
menyatakan minimnya akses ini adalah problem serius di dalam isu
pertanian. Kepemilikan lahan yang hanya 0,25 hektare/KK Petani dari 45
juta KK petani, dari total 6.000.000 hektare lahan pertanian.
Menurut
dia, pertanian modern bukan berarti menggantikan pertanian rakyat
dengan "rice estate" atau pembukaan lahan secara besar-besaran untuk
ditanam satu macam komoditas, dalam hal ini padi.
"Lebih baik akses tanah-tanah telantar yang dimiliki oleh negara diberikan kepada petani untuk menggarap," tuturnya.
Target
pemerintahan presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono untuk mencapai
swasembada pangan pada tahun 2014, ternyata tidak terwujud. Kini,
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla mencanangkan kembali program
tersebut sebagai agenda besar.
Akankah pemerintahan kali ini
mampu mewujudkannya dalam tiga tahun ke depan sesuai dengan targetnya,
atau untuk kesekian kalinya swasembada pangan tetap sebatas mimpi bangsa
Indonesia.
Sumber berita: www.antarariau.com
0 komentar: