Foto: singkong dari daerah berpasir
Ada kejadian lucu. Suatu ketika, sebuah film nasional berbiaya mahal, berlatar tanah Jawa abad ke-15, gagal masuk seleksi unggulan Festival Film Indonesia. Masalahnya sederhana, yakni karena film memuat adegan sekelompok prajurit tengah istirahat sembari menikmati singkong bakar.
"Penulis skenario dan sutradaranya pasti tak belajar sejarah Indonesia, nih...!" sindir salah seorang juri. Maklum, zaman itu singkong memang belum dikenal orang di Jawa, bahkan di kawasan lain Nusantara. "Singkong masih tinggal jauh di seberang Samudra Pasifik, di Amerika Selatan," sindirnya, kritis.
Di Indonesia, singkong memang populer. Murah-meriah, mudah ditemukan di pelosok gunung bahkan di pulau terpencil. Tak heran bila tanaman yang umbi rebusnya kerap dipelesetkan sebagai 'roti sumbu' ini, dikira tanaman asli Indonesia. Padahal, di antara keanekaragaman hayati Indonesia, singkong masuk kategori alien, makhluk (tumbuhan) asing yang menyusup dari dunia luar dan berkembang melimpah ruah di mana-mana.
Berkas holtikultura di Herbarium Bogorensis menyebut, singkong sudah menjadi makanan pokok masyarakat prasejarah Amerika Selatan bagian utara, Mesoamerika, dan Karibia. Penduduk asli Brasil dan Paraguay tercatat sebagai yang pertama membudidayakan singkong, jauh sebelum Columbus berlayar ke barat mencari negeri rempah-rempah Nusantara, dan nyasar ke Benua Amerika yang dikiranya India. Budi daya kebun dilanjutkan Portugis dan Spanyol saat merebut dan membangun koloni di benua itu. Dari bibit asal Brazil pula, abad ke-16, Portugis membawa singkong ke Nusantara dan menanamnya di sekitar bentengnya di Pulau Ternate, Maluku Utara.
Sumber: www.femina.co.id
0 komentar: